Sekolah unggulan itu berada di dekat kantorku. Awal berdirinya hanya
untuk jenjang play group dan TK. Kini sudah ada pula untuk jenjang SD
dan SMP. Banyak orang bilang, ini adalah sekolah mahal. Bangunannya
memang bagus, arena bermain juga luas, ada kendaraan untuk antar jemput
siswa.
Aku memasukkan anakku untuk mengenyam pendidikan TK
disekolah ini karena beberapa alasan. Pertama, anakku langsung suka
dengan sekolah ini setelah melihat taman bermainnya yang luas, berumput
hijau, ada ayunan, jungkat-jungkit dan sarana permainan lainnya. Kedua,
sekolah ini menerapkan full day dan lokasinya dekat kantor. Jadi aku dan
anakku bisa berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Saat jam
istirahat siang, aku bisa jemput anakku dan menikmati makan siang
bersama. Biayanya memang mahal, tapi bagiku tak masalah, karena aku
ingin yang terbaik untuk anakku.
Awal-awal sekolah, anakku selalu
antusias menceritakan apa saja yang dilakukan disekolah. Dia cerita
tentang teman-temannya di kelas, aktivitas bernyanyi dan bermain bersama
teman-teman dan guru-gurunya. Aku turut senang melihat anakku menikmati
masa-masa sekolahnya.
Lama kelamaan antusiasmenya menceritakan
kegiatan disekolah mulai berkurang. Aku menganggap hal ini wajar. Karena
aku berpikiran sekolah itu sudah bukan hal baru lagi bagi dia, jadi
tingkat kemenarikannya juga berkurang.
Hingga suatu hari aku
membuka-buka buku catatan anakku. Aku kaget mendapati disitu ada catatan
nama-nama menteri, nama-nama propinsi dan ibukotanya, nama-nama
presiden dari beberapa negara. Anakku menuliskan ini semua? Sebelum
masuk TK, anakku memang sudah bisa menulis, walau tak rapi. Tapi aku tak
menyangka kalau dia menuliskan ini. Aku pikir di TK ya masih belajar
untuk nulis rapi saja.
Setelah menemukan catatan itu, aku mulai
lebih memperhatikan anakku. Dari hasil pengamatanku, anakku tak begitu
bergairah lagi jika berangkat sekolah. Dia tak lagi mau bermain bersama
teman-temannya setelah pulang sekolah. Dulu diawal dia sekolah, sore
hari sehabis mandi, dia masih sempat bermain-main di kompleks walau
sebentar. Tapi kini tak pernah lagi. Setelah mandi dia segera masuk ke
kamarnya. Tidur.
Aku masih menganggap hal ini wajar. Mungkin dia
kecapekan seharian disekolah, bermain dan belajar. kesibukanku dengan
pekerjaan dikantor dan di rumah mulai mengendorkan pengamatanku pada
anakku.
Bulan ke 8 anakku sekolah di TK itu. Akan diadakan
perlombaan antar anak-anak TK dalam satu kelas. Seleksi untuk mewakili
sekolah mengikuti lomba di tingkat yang lebih tinggi. Aku ingat, jaman
aku TK dulu, kalau ada lomba antar TK pastilah lomba menyanyi, mewarnai,
membuat prakarya dengan lilin atau tanah liat.
Aku kaget, karena
yang dijadikan materi untuk seleksi adalah pengetahuan umum, matematika
dan bahasa Inggris. Siapa nama perdana menteri negara X? Negara A ada
di benua apa? Pasal sekian UUD 45 bunyinya apa? dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang sifatnya hapalan. Anak TK mempelajari
semua ini?
Selesai seleksi, aku segera menginterogasi anakku. Apa
saja yang dikerjakannya disekolah. Jawaban anakku makin membuatku
terkejut. Disekolah, dia belajar untuk menghapal. Menghapal banyak
sekali hal. Dan setiap hari gurunya akan mengecek hapalan setiap anak.
Oh, pantas saja anakku sering tak bergairah pergi ke sekolah. Pantas
saja dia tak mau lagi bermain-main sepulang sekolah. Pantas saja dia
jadi banyak diam. Rupanya karena dia punya beban. Beban untuk menghapal.
Saat
itulah perasaan bersalah memenuhi diriku. Aku ingin memberikan yang
terbaik untuk anakku, tapi bukan dengan cara membuatnya menjadi
penghapal. Bukan dengan cara membuatnya jadi sering termenung,
mengingat-ingat materi yang diberikan disekolah.
Aku coba menemui
guru anakku. Aku coba berdialog dengannya. Bahwa anak usia TK itu
harusnya belajar bersosialisasi, mengembangkan kemampuan motoriknya,
bukan di set untuk jadi penghapal. Jawaban gurunya adalah “Ini sekolah
unggulan. Anak-anak harus lebih unggul dari anak-anak TK lain. Caranya
ya seperti itu, memberi pengetahuan lebih yang tidak diajarkan oleh
sekolah lain”. Oh, jadi begitu.
Sudah tanggung, 8 bulan. Sudah
banyak biaya yang keluar. Apakah anakku harus aku pindahkan dari disana?
Kalau pindah, anakku harus bersosialisasi lagi dengan teman dan
lingkungan baru. Kalau tak dipindah, tiap hari aku harus melihat anakku
termenung, menghapal apa yang diberikan gurunya disekolah.
Setelah
membicarakan dengan suami dan kedua orangtuaku, diambil keputusan bahwa
biarkan anakku disana sampai lulus TK. Nanti SD nya jangan lagi disitu.
Akhirnya
aku harus menguatkan hati, melihat anakku terbebani dengan tugas-tugas
menghapal dari sekolah. Hingga akhirnya anakku dinyatakan lulus dari TK
itu.
Kini anakku bersekolah diMadrasah yang lokasinya dekat
dengan rumah. Tak perlu antar jemput, karena dia bisa berangkat dan
pulang sekolah bersama teman-temannya. Kini anakku kembali ceria dan
bisa sering tertawa. Pulang sekolah hari masih siang, masih banyak waktu
untuk istirahat dan bermain-main dengan teman sebayanya.
SUMBER: KOMPASIANA